Soshum Tidak Bisa Bersaing Jadi Data Analyst? Kata Siapa? Ini Buktinya!
Afgnews - Saat ini, bagi sebagian besar
lulusan ilmu Sosial dan Humaniora (Soshum) jika terjun ke dunia teknologi yang
didominasi oleh angka dan kode seringkali terdengar seperti sebuah misi yang
mustahil. Anggapan bahwa profesi Data Analyst hanya diperuntukkan bagi mereka
yang berlatar belakang Teknik Informatika, Matematika, atau Statistik masih
melekat kuat di benak masyarakat. Namun, realitas industri saat ini menunjukkan
pergeseran yang menarik, di mana keberagaman latar belakang pendidikan justru
menjadi aset berharga dalam sebuah tim data.
Perusahaan-perusahaan teknologi
besar kini mulai menyadari bahwa data tidak hanya sekadar deretan angka,
melainkan representasi dari perilaku manusia yang kompleks. Di sinilah celah
peluang terbuka lebar bagi lulusan Soshum untuk mengisi kekosongan yang sering
luput dari perhatian lulusan teknis murni. Artikel ini akan mengupas tuntas
mengapa transisi karir dari bidang sosial ke ranah data bukan hanya sekadar
mimpi di siang bolong, melainkan langkah strategis yang sangat masuk akal dan
menjanjikan.
Salah satu keunggulan utama yang
dimiliki oleh lulusan Soshum adalah kemampuan berpikir kritis dalam memahami
konteks sosial dan perilaku manusia. Seorang Data Analyst tidak hanya bertugas
mengolah angka menggunakan Python atau SQL, tetapi juga harus mampu
menerjemahkan angka tersebut menjadi wawasan bisnis yang relevan. Lulusan
Soshum terbiasa melihat fenomena dari berbagai sudut pandang, mempertanyakan
"mengapa" sebuah tren terjadi, bukan hanya "apa" yang terjadi.
Kemampuan untuk menghubungkan titik-titik data dengan realitas sosial di
lapangan inilah yang sering kali menjadi nilai tambah unik yang sulit
digantikan oleh mesin atau algoritma semata.
Dalam dunia profesional, hasil
analisis data yang rumit tidak akan berguna jika tidak dapat disampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti oleh para pengambil keputusan. Di sinilah
kemampuan komunikasi dan storytelling yang diasah selama kuliah di
jurusan Soshum menjadi senjata ampuh. Lulusan Ilmu Komunikasi, Hubungan
Internasional, atau Sastra umumnya memiliki kepekaan narasi yang lebih baik
untuk menyusun laporan yang persuasif.
Baca juga: DQLab Bootcamp Data Analyst with Python & SQL
Ketakutan terbesar lulusan non-IT
biasanya terletak pada penguasaan tools teknis seperti bahasa
pemrograman atau manajemen basis data. Berbeda dengan software engineering
yang membutuhkan logika algoritma yang sangat kompleks, analisis data lebih
fokus pada manipulasi dan ekstraksi informasi. Dengan dedikasi waktu yang tepat
dan kurikulum yang terstruktur, kemampuan teknis ini bisa dipelajari secara
otodidak maupun melalui pelatihan intensif dalam waktu hitungan bulan, bukan
tahun.
Banyaknya perusahaan teknologi di
era ini yang mulai menggeser syarat administrasi kaku menjadi pembuktian
kompetensi melalui karya nyata. Bagi lulusan Soshum, ketiadaan ijazah IT dapat
ditutupi dengan portofolio data yang solid dan relevan dengan studi kasus. Dimana
kita bisa mulai mengerjakan proyek analisis data sederhana yang berkaitan
dengan latar belakang pendidikan, misalnya menganalisis tren media sosial, data
demografi penduduk, atau survei kepuasan pelanggan. Portofolio yang menunjukkan
kemampuan pemecahan masalah secara end-to-end akan jauh lebih meyakinkan
rekruter dibandingkan sekadar deretan gelar akademik tanpa bukti keterampilan
praktis.
Menjadi seorang praktisi data dari latar belakang Soshum bukanlah hal yang mustahil, melainkan sebuah tantangan yang sangat mungkin untuk ditaklukkan. Kombinasi antara soft skill berupa pemahaman konteks manusia dan hard skill analisis data menciptakan profil profesional yang unik dan dicari banyak perusahaan. Kuncinya terletak pada kemauan untuk terus belajar, beradaptasi dengan teknologi baru, dan keberanian untuk memulai langkah pertama keluar dari zona nyaman. (af)

Tidak ada komentar: