BRICS dan Peran Indonesia, Bagaimana Konsistensi Politik Bebas Aktif dalam Forum Multilateral?
AfgNews - Pada awal tahun 2025, Indonesia
resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS, sebuah blok ekonomi yang terdiri
dari; Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Langkah ini menjadi
tonggak penting dalam arah kebijakan luar negeri Indonesia, terutama di bawah
kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah dinamika geopolitik global
yang terus berubah, keputusan ini pun menimbulkan diskursus publik yang hangat:
apakah Indonesia tetap memegang teguh prinsip politik luar negeri bebas aktif, atau
mulai bergeser ke arah keberpihakan tertentu?
BRICS, yang awalnya hanya
berfokus pada kerja sama ekonomi antarnegara berkembang, kini menjelma menjadi
forum geopolitik global yang semakin berpengaruh. Blok ini mengusung
agenda-agenda besar seperti multipolaritas dunia, reformasi lembaga
internasional, serta kemandirian dalam sistem keuangan global, sebagai bentuk
kritik terhadap dominasi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan
sekutunya. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS tentu menawarkan peluang
strategis; baik dalam hal ekonomi, diplomasi, maupun peningkatan pengaruh
Indonesia di tingkat global.
Presiden Prabowo Subianto
melakukan debut diplomatiknya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang
digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5–6 Juli 2025. Dalam pidatonya,
Presiden Prabowo menegaskan bahwa langkah Indonesia bergabung dengan BRICS merupakan
implementasi dari prinsip bebas aktif, bukan bentuk keberpihakan pada poros
tertentu. Ia menyatakan bahwa Indonesia akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang
yang terbuka untuk kerja sama dengan semua pihak demi kepentingan nasional dan
stabilitas global.
Meski demikian, sejumlah
pengamat memandang bahwa narasi tersebut belum sepenuhnya meredam kekhawatiran
yang berkembang. Beberapa gestur politik luar negeri Presiden Prabowo seperti
kunjungannya ke Moskow dan ketidakhadirannya dalam pertemuan G7 di Kanada
menjadi sorotan publik dan media internasional. Arah kebijakan ini dianggap
memberi sinyal kedekatan Indonesia dengan negara-negara yang sering diposisikan
sebagai kekuatan revisionis dalam tatanan dunia, khususnya Rusia dan Tiongkok.
“Diplomasi performatif
Presiden Prabowo memberi kesan Indonesia semakin mendekat ke Rusia dan
Tiongkok,” tulis Radityo Dharmaputra, pengamat politik luar negeri dari
Universitas Airlangga, sebagaimana dilaporkan oleh Koran
Jakarta, Senin (7/7/2025).
Pernyataan tersebut mencerminkan adanya kegelisahan sebagian kalangan akademisi dan pengamat kebijakan luar negeri terhadap konsistensi Indonesia dalam menjaga posisi netralnya. Sejak masa awal kemerdekaan, prinsip bebas aktif menjadi fondasi diplomasi Indonesia di panggung internasional. Bung Hatta, sebagai penggagasnya, menekankan pentingnya Indonesia untuk tidak memihak kekuatan manapun, tetapi tetap aktif berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia dan keadilan internasional.
Kementerian Luar Negeri
RI mencoba menjawab kritik tersebut. Menteri Luar Negeri, Sugiono, dalam
pernyataan resminya menyatakan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS merupakan
wujud nyata dari diplomasi bebas aktif. Menurutnya, dengan bergabungnya Indonesia
ke BRICS, justru akan membuka lebih banyak ruang dialog dan kerja sama
internasional. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia tetap menjalin hubungan erat
dengan negara-negara Barat, termasuk proses aksesi Indonesia ke Organisasi
untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ditargetkan selesai pada
2027.
Namun, konsistensi
prinsip bebas aktif tak cukup diukur dari keanggotaan dalam forum internasional
semata. Tantangan sesungguhnya adalah pada sikap dan tindakan Indonesia dalam
merespons isu-isu strategis yang menyangkut nilai universal seperti hak asasi
manusia, invasi militer, atau krisis kemanusiaan. Misalnya, ketika Indonesia
memilih untuk tidak bersuara lantang terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh beberapa negara anggota BRICS, seperti Rusia dalam konteks invasi Ukraina,
atau Tiongkok dalam isu Xinjiang dan Hong Kong.
Ketidakseimbangan sikap
ini dikhawatirkan akan berdampak pada reputasi Indonesia di mata dunia,
khususnya di antara negara-negara yang selama ini melihat Indonesia sebagai
pionir diplomasi moral di kawasan Asia Tenggara. Sebuah negara yang konsisten
menjaga prinsip bebas aktif semestinya juga menunjukkan keberanian dalam
menyampaikan kritik, meskipun terhadap mitra strategisnya sendiri.
Di sisi lain, tidak dapat
dipungkiri bahwa BRICS menawarkan potensi besar dalam memperkuat posisi ekonomi
Indonesia. Akses ke pendanaan alternatif, kolaborasi teknologi, serta peluang
ekspor ke negara-negara anggota BRICS dapat memperkuat ketahanan ekonomi
nasional. Dalam jangka panjang, keberadaan Indonesia di forum ini dapat menjadi
jalur diplomasi ekonomi baru di luar dominasi Amerika dan Eropa.
Namun, tantangan ke depan
bukanlah perkara mudah. Indonesia dituntut untuk memainkan peran ganda yakni
sebagai mitra aktif dalam BRICS sekaligus tetap menjaga hubungan baik dengan
negara-negara Barat. Keseimbangan politik luar negeri ini menuntut kehati-hatian,
ketepatan strategi komunikasi, serta konsistensi nilai yang menjadi pegangan
utama.
Langkah Indonesia
memasuki BRICS juga harus disertai dengan agenda kebijakan yang jelas,
khususnya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, transisi energi, dan
penegakan prinsip multilateral. Indonesia perlu memanfaatkan platform ini untuk
memajukan isu-isu yang sesuai dengan kepentingan nasional dan amanat
konstitusi, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek atau simbol
diplomatik.
Tidak ada komentar: