Header news

✒️ |

BRICS dan Peran Indonesia, Bagaimana Konsistensi Politik Bebas Aktif dalam Forum Multilateral?

AfgNews - Pada awal tahun 2025, Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS, sebuah blok ekonomi yang terdiri dari; Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Langkah ini menjadi tonggak penting dalam arah kebijakan luar negeri Indonesia, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah dinamika geopolitik global yang terus berubah, keputusan ini pun menimbulkan diskursus publik yang hangat: apakah Indonesia tetap memegang teguh prinsip politik luar negeri bebas aktif, atau mulai bergeser ke arah keberpihakan tertentu?

BRICS, yang awalnya hanya berfokus pada kerja sama ekonomi antarnegara berkembang, kini menjelma menjadi forum geopolitik global yang semakin berpengaruh. Blok ini mengusung agenda-agenda besar seperti multipolaritas dunia, reformasi lembaga internasional, serta kemandirian dalam sistem keuangan global, sebagai bentuk kritik terhadap dominasi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS tentu menawarkan peluang strategis; baik dalam hal ekonomi, diplomasi, maupun peningkatan pengaruh Indonesia di tingkat global.

Presiden Prabowo Subianto melakukan debut diplomatiknya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5–6 Juli 2025. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menegaskan bahwa langkah Indonesia bergabung dengan BRICS merupakan implementasi dari prinsip bebas aktif, bukan bentuk keberpihakan pada poros tertentu. Ia menyatakan bahwa Indonesia akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang yang terbuka untuk kerja sama dengan semua pihak demi kepentingan nasional dan stabilitas global.

Meski demikian, sejumlah pengamat memandang bahwa narasi tersebut belum sepenuhnya meredam kekhawatiran yang berkembang. Beberapa gestur politik luar negeri Presiden Prabowo seperti kunjungannya ke Moskow dan ketidakhadirannya dalam pertemuan G7 di Kanada menjadi sorotan publik dan media internasional. Arah kebijakan ini dianggap memberi sinyal kedekatan Indonesia dengan negara-negara yang sering diposisikan sebagai kekuatan revisionis dalam tatanan dunia, khususnya Rusia dan Tiongkok.

“Diplomasi performatif Presiden Prabowo memberi kesan Indonesia semakin mendekat ke Rusia dan Tiongkok,” tulis Radityo Dharmaputra, pengamat politik luar negeri dari Universitas Airlangga, sebagaimana dilaporkan oleh Koran Jakarta, Senin (7/7/2025).

Pernyataan tersebut mencerminkan adanya kegelisahan sebagian kalangan akademisi dan pengamat kebijakan luar negeri terhadap konsistensi Indonesia dalam menjaga posisi netralnya. Sejak masa awal kemerdekaan, prinsip bebas aktif menjadi fondasi diplomasi Indonesia di panggung internasional. Bung Hatta, sebagai penggagasnya, menekankan pentingnya Indonesia untuk tidak memihak kekuatan manapun, tetapi tetap aktif berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia dan keadilan internasional.

Kementerian Luar Negeri RI mencoba menjawab kritik tersebut. Menteri Luar Negeri, Sugiono, dalam pernyataan resminya menyatakan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS merupakan wujud nyata dari diplomasi bebas aktif. Menurutnya, dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS, justru akan membuka lebih banyak ruang dialog dan kerja sama internasional. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia tetap menjalin hubungan erat dengan negara-negara Barat, termasuk proses aksesi Indonesia ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ditargetkan selesai pada 2027.

Namun, konsistensi prinsip bebas aktif tak cukup diukur dari keanggotaan dalam forum internasional semata. Tantangan sesungguhnya adalah pada sikap dan tindakan Indonesia dalam merespons isu-isu strategis yang menyangkut nilai universal seperti hak asasi manusia, invasi militer, atau krisis kemanusiaan. Misalnya, ketika Indonesia memilih untuk tidak bersuara lantang terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh beberapa negara anggota BRICS, seperti Rusia dalam konteks invasi Ukraina, atau Tiongkok dalam isu Xinjiang dan Hong Kong.

Ketidakseimbangan sikap ini dikhawatirkan akan berdampak pada reputasi Indonesia di mata dunia, khususnya di antara negara-negara yang selama ini melihat Indonesia sebagai pionir diplomasi moral di kawasan Asia Tenggara. Sebuah negara yang konsisten menjaga prinsip bebas aktif semestinya juga menunjukkan keberanian dalam menyampaikan kritik, meskipun terhadap mitra strategisnya sendiri.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa BRICS menawarkan potensi besar dalam memperkuat posisi ekonomi Indonesia. Akses ke pendanaan alternatif, kolaborasi teknologi, serta peluang ekspor ke negara-negara anggota BRICS dapat memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, keberadaan Indonesia di forum ini dapat menjadi jalur diplomasi ekonomi baru di luar dominasi Amerika dan Eropa.

Namun, tantangan ke depan bukanlah perkara mudah. Indonesia dituntut untuk memainkan peran ganda yakni sebagai mitra aktif dalam BRICS sekaligus tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat. Keseimbangan politik luar negeri ini menuntut kehati-hatian, ketepatan strategi komunikasi, serta konsistensi nilai yang menjadi pegangan utama.

Langkah Indonesia memasuki BRICS juga harus disertai dengan agenda kebijakan yang jelas, khususnya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, transisi energi, dan penegakan prinsip multilateral. Indonesia perlu memanfaatkan platform ini untuk memajukan isu-isu yang sesuai dengan kepentingan nasional dan amanat konstitusi, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek atau simbol diplomatik.

 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.